Saturday, May 08, 2004
Tentang aku (saat itu).
Akulah pria yang hancur berkeping-keping.
Pecahan jiwaku yang rapuh tersapu di bawah jagad ini, dan aku tak tahu kemana saja mereka pergi. Aku harus menemukan mereka, agar raga ini bisa berpijak dengan kokoh di atas semesta. Jiwaku pecah berkeping-keping seiring dengan hilangnya cinta dan harapan dalam jiwaku, akan sesuatu yang indah, sesuatu yang baik, sesuatu yang damai, sesuatu yang hangat-seperti pelukan ibu saat senja yang dingin dan segelas susu hangat yang menemanimu mendengar ceritanya saat matamu hampir terlelap di atas ranjang.
Jiwaku pecah berkeping-keping seiring dengan sadarnya rohku akan kesendirian ku melakukan pelayaran ini. Saudara-saudariku entah kemana. Tak ada yang ikut berlayar bersamaku dan menegakan sauh, mengibarkan layar, mengarahkan haluan. Saat badaipun aku sendirian. Pandangan tak seberapa membuatku terpaut antara hidup dan mati.
Panas akan terasa panas, dan dingin akan menusuk tulangku-demikianlah adanya aku, setelah hancur berkeping-keping. Tak ada lagi keyakinan bahwa aku akan menemukan awak kapal agar aku sekiranya tak perlu berlayar sendirian, dan dengan luka yang menganga tak perlu kiranya aku bersedih. Aku berlayar di samudera jauh, hanya sesekali bertemu dengan pedagang di atas kapal dagangnya, jarang kutemui pulau yang bisa kujadikan tempat istirahat saat aku merasa lelah berlayar sendirian.
Seringnya aku tidur dipayungi malam dan semesta yang luas tak berbatas, berpadu cinta antara biru dan hitamnya dunia dengan pijaran bintang-bintang yang mengintip di kejauhan.
Aku lah pria yang hancur berkeping-keping. Dalam mimpi aku sendiri. Mencari tambang untuk menambatkan kapalku, tapi tak kutemukan dan aku harus terus berlayar-mencari sebuah kepastian. Di antara gelombang laut, barisan ikan, karang, pasir yang mungkin dapat memberikan jawaban bagi jiwaku yang kosong dan meranggas.
Bibirku mengering, tak dapat kutemukan sumber air yang mampu melegakan dahaga, tak ada gadis yang mencurahkan cintanya bagi sumur jiwaku yang mendambakan sentuhannya.aku harus terus berlayar, mencari musim semi yang mampu menyegarkan hidupku, memberi air bagi keringnya nuraniku.
Akulah pria yang hancur berkeping-keping. Aku masih berjalan di bawah panas, tanpa lindungan.mencari di mana aku bisa menemukan tempat berteduh, agar aku bisa beristirahat. Aku mencari kemana bunda pergi, hilang ditelan waktu dan raganya berhenti tak dapat kukejar. Cintanya masih berdegup, dan masih kupegang.
Saat kudengar cinta dikatakan untukku, aku akan berhenti sesaat dan menangis, karena mungkin aku masih punya harapan untuk menemukan sauh supaya aku dapat mengistirahatkan letihnya jiwa ini, luka yang sudah menganga di tapak kakiku yang sudah mengeras. Mencairkan hatiku yang membatu dan mengakar dengan kebencian dan kesedihan. Begitulah hatiku. Mengering dalam sepi dan mati dalam sendiri. Tanpa kunjung melihat adanya harapan dan sinar cerah. Mungkin bukan tidak akan tapi belum, dan perahu masih harus berlayar sampai sebuah pulau yang bernama ‘penyembuhan’ menampakan wajahnya untuk fajar jiwa yang kering.
Jiwa: Apa judulnya?
Raga: pria yang hancur berantakan…
Jiwa: siapa si pria. Kamu?
Raga: menurutmu?
Jiwa: ohh.
Pria yang hancur berkeping-keping, terikat dalam sedihnya malam, dan semua yang masih terjaga saat malam mencumbu langit biru dan kelam. Pria yang jatuh dari tingginya langit suram napasnya, dengan napas yang sesak menyanyikan kematian, sungai yang mengering, kesakitan, penantian, kesendirian, air mata, dan semua yang menarik jiwamu dengan luka yang meneteskan darah.
Dalam jatuhnya ia hendak berteriak, tapi jiwanya sakit dan mulutnya tak dapat berkata-kata, ia tak ingin jatuh remuk di bawah sana. Jatuh remuk dan pecahannya akan hilang di bawa badai dari lautan yang tanpa ampun menghapus keberadaan dan ingatan semesta akan jiwanya yang sempat ada, dan tersiksa dalam sedih.
Tubuhnya hampir tidak merasakan apa-apa. Dalam jatuh hanya angin yang menepis rambutnya, dan menambah pedih lukanya. Lukanya terus berdarah tapi juga berusaha untuk mengering.
Bahkan luka nya berteriak:
Selamatkan dia! Selamatkan kami! adakah orang di atas sana yang mendengarkan kami?adakah orang di sekitar sini yang melihat dia jatuh ke jurang tanpa dasar yang akan mengikat jiwanya dengan ketiadaan? Lemparkan tali, terbanglah kemari, atau apa saja. Asal selamatkan kami. Selamatkan dia!
Tapi dia terus jatuh, dan air matanya mulai terbawa angin. Tak terdengar apa-apa kecuali angin. Tak ada yang mendengar dia jatuh. Dia tak berteriak. Dia terus jatuh. Mungkin dia memang ingin jatuh ke bawah sana. Mungkin dia akan selamat. Tak ada yang tahu. Tapi ia memang terus jatuh.
Pria itu tersenyum sesaat. Tapi air matanya terus mengalir. Aku tahu dia ingin beteriak, memanggil mereka untuk menyelamatkannya. Tapi mustahil ada orang yang mendengar di tempat itu. Mustahil bagi mereka untuk mendengar.
Pria itu terus jatuh ke dasar jurang yang tak nampak. Angin membawanya dengan cepat ke bawah. Ke ujung yang gelap dan pasti menyakitkan dan penuh dengan tawa miris kematian di bawah sana, yang terus memanggil jiwa-jiwa sunyi untuk bergabung dengan mereka.
Langit berubah menjadi ungu. Udara mulai sesak dan berbau racun. Ujung jurang itu mulai menebarkan aroma menyesakan dada yang tak seorangpun mau menghirupnya. Kegelapan mulai merayap di dinding-dinding jurang…..
Jiwa: dia mati?
Raga: belum.dia belum mati.
stanley dirgapradja@petit garcon 6:41 AM [comment]
***